Senin, 25 Juli 2011

Pengamat Hukum: Konflik Pulau Tujuh Politik Pencitraan

Ilustrasi - Konflik Pulau Tujuh antara Propinsi Bangka Belitung dengan Propinsi Kepulauan Riau. (Istimewa)
Pengamat hukum Universitas Bangka Belitung (UBB), Rio Armanda Agustian MH, mengemukakan konflik gugusan Pulau Tujuh yang dipersengketakan antara Pemprov Babel dengan Pemprov Kepri merupakan politik pencitraan para calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah 2012.

"Konflik Pulau Tujuh sudah digunakan beberapa politisi Babel di daerah dan pusat yang akan mencalonkan diri menjadi calon gubernur atau wakil gubernur untuk mengambil simpati masyarakat dan meraih kedudukan sosial sebagai pahlawan yang mampu menjaga keutuhan wilayah Babel," ujarnya, di Pangkalpinang, Senin.

Ia mengatakan, jika para politisi ini sebagai wakil rakyat di daerah maupun di pusat memang serius menyelesaikan konflik saling klaim atas gugusan Pulau Tujuh dengan Pemprov Kepri, mengapa mereka baru berkomentar menjelang Pilkada yang akan berlangsung Februari 2012.

"Masyarakat bisa menilai sendiri bagaimana kinerjanya selama ini, karena itu diharapkan masyarakat tidak salah memilih calon yang akan memimpin Babel untuk menjadikan daerah ini bisa lebih baik," ujarnya.

Persoalan ini muncul karena tumpang tindih undang-undang yaitu di dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung menyebutkan Pulau Tujuh termasuk dalam wilayah administrasi dan wilayah hukum Babel, sementara dalam UU Pembentukan Kabupaten Lingga, Kepri, gugusan Pulau Tujuh juga masuk ke wilayahnya.

Suasana semakin memanas ketika kapal isap bijih timah milik Pemprov Kepri melakukan penambangan di wilayah gugusan Pulau Tujuh yang kaya sumber daya mineral dan minyak bumi.

Ia mengatakan, jika mengacu pada Undang-undang pembentukan Provinsi Babel dengan pembentukan Kabupaten Lingga, gugusan Pulau Tujuh mutlak masuk wilayah administrasi Babel, karena Undang-undang pembentukan Kabupaten Lingga dikeluarkan tahun 2003, jadi Provinsi Babel lebih dahulu berdiri.

"Berbicara masalah wilayah teritorial, Pulau Tujuh harga mati bagi Pemerintah Provinsi Babel, jika satu pulau lepas dari wilayah administrasi Babel maka Undang-undang pembentukan daerah itu harus dirubah," ujarnya.

Seharusnya, kata dia, penyelesaian konflik Pulau Tujuh ini diselesaikan ketika masalah itu pertama kali muncul, namun konflik tersebut dibiarkan begitu saja.

"Ini merupakan kelalaian Pemerintah Provinsi Babel yang kurang memperhatikan kondisi wilayah itu, baik kondisi kehidupan masyarakat maupun pembangunan berbagai jenis infrastruktur pendukung seperti sarana pendidikan, kesehatan dan lainnya," ujarnya.

Menurut dia, konflik Pulau Tujuh hampir sama ketika konflik Provinsi Timor Timur dimana masyarakatnya merasakan ketidakadilan, karena itu ketika pemerintah pusat menawarkan referendum mereka memilih untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Demikian juga halnya dengan masyarakat di Pulau Tujuh yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Provinsi Babel, apabila ditawarkan tetap menjadi bagian dari wilayah Babel atau bergabung dengan Kepri, tentu masyarakat daerah itu akan memilih Kepri.

"Wajar saja masyarakat di Pulau Tujuh memilih menjadi bagian dari Kepri sebagai wujud balas budi, karena Kepri selama ini telah memperhatikan dan membangun daerah mereka," ujarnya.

Menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Babel 2012, menurut dia, selain konflik Pulau Tujuh, masalah kesetaraan pembangunan antara Pulau Bangka dengan Pulau Belitung akan menjadi fokus pembicaraan para politisi untuk menjatuhkan rival politiknya dan mengambil simpatik masyarakat.
(antara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar