Mengajak orang berfikir maju ternyata sulit. Sampai
sekarang, di zaman super modern dan di era informasi super canggih, orang masih
sulit meninggalkan kepercayaan tahayul. Masih banyak yang keberatan
meninggalkan sesajian dan persembahan kepada jin atau yang dipercaya sebagai
penguasa tempat tertentu. Dan itu bukan hanya dilakukan orang-orang kampung
dari desa-desa tertinggal, tetapi juga dilakukan orang-orang kota yang
berpendidikan tinggi.
Ketika ada kasus berat yang sulit di atasi, mereka
tidak mengembalikannya kepada Allâh Pencipta segala kejadian, tetapi justru
kepada kekuatan-kekuatan ghaib selain Allâh Azza wa Jalla. Padahal hampir semua
lembaga pendidikan, mulai dari TK sampai perguruan tinggi, selalu menanamkan
cara berpikir logis. Bahkan terkadang berlebihan hingga mengabaikan kepercayaan
terhadap keberadaan berkah dan rahmat Allâh yang oleh sebagian kaum pengagum
logika, dianggap tidak logis. Ironisnya, mereka justeru terjebak pada kepercayaan
kepada hal-hal yang irrasional dan jauh dari logis, misalnya tahayul, mistik
serta hal-hal yang bertentangan dengan kemajuan. Orang-orang 'pintar' salalu
ramai kebanjiran nasabah. Bahkan tempat-tempat sepi, kuburan-kuburan dan
benda-benda mati yang dikeramatkanpun tidak pernah sepi dari orang-orang yang
ngalap berkah. Jangan ditanya lagi tentang tumbal dan sesaji, selalu saja orang
takut kualat untuk tidak memenuhinya.
Sebenarnya tradisi sesaji, tumbal dan persembahan
kepada berhala, roh halus atau yang diyakini sebagai penguasa tempat tertentu,
sudah ada semenjak zaman dahulu kala, ketika secara teknologi orang masih
terbelakang, dipelopori oleh orang-orang musyrik para penyembah berhala.
Telah difahami bahwa orang pertama yang merubah
agama Nabiyyullah Ibrâhîm Alaihissallam dan Nabiyyullah Ismâ'îl Alaihissallam
dari agama tauhid menjadi agama watsaniyah (paganisme) yang syirik adalah 'Amr
bin Luhay al-Khuza'i, pembesar dan cikal bakal suku Khuza'ah di sekitar
Baitullah, Mekah dan sekitarnya.[1]
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam
tafsirnya membawakan riwayat dengan sanadnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu , beliau berkata, "Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada Aktsam bin al-Jaun Radhiyallahu anhu :
يَا أَكْثَمُ، رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ لُحَيِّ
بْنِ قَمَعَةَ بْنِ خِنْدَفٍ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ، فَمَا رَأَيْتُ رَجُلاً
أَشْبَهَ بِرَجُلٍ مِنْكَ بِهِ وَلاَ بِهِ مِنْكَ". فَقَالَ أَكْثَمُ : أَخْشَى
أَنْ يَضُرَّنِي شِبْهُهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وآله وسلم: "لاَ إِنَّكَ مُؤْمِنٌ وَهُوَ كاَفِرٌ، إِنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَيَّرَ
دِيْنَ إِسْمَاعِيْل وَبَحَّرَ الْبَحِيْرَةَ، وَسَيَّبَ السَّائِبَةَ، وَحَمَى الْحَامِيَ
Wahai Aktsam, aku melihat 'Amr bin Luhay bin
Qama'ah bin Khindaf menarik-narik isi perutnya di dalam neraka. Aku belum
pernah melihat ada seseorang yang mirip dengan orang lain dibanding engkau
dengan dia dan dia dengan engkau". Aktsam berkata, 'Ya Rasûlullâh, aku
khawatir jika keserupaan itu akan membahayakanku.' Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak, sesungguhnya engkau orang Mu'min,
sedangkan dia orang kafir. Sesungguhnya dia adalah orang pertama yang merubah
agama Nabi Isma'il, orang pertama yang mengadakan persembahan kepada berhala
berupa bahîrah, sâ'ibah dan Hâmiy"[2]
Hadits ini dibahas di dalam Silsilah Ahâdîts
Shahîhah karya Syaikh al-Albâni rahimahullah.[3] Beliau rahimahullah
menjelaskan bahwa hadits itu juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Ashim, dan
isnad-nya Hasan.
Imam al-Bukhâri t juga meriwayatkan, dari az-Zuhri,
dari Urwah, sesungguhnya Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
رَأَيْتُ جَهَنَّمَ يَحْطِمُ بَعْضُهَا
بَعْضًا، وَرَأَيْتُ عَمْرًا يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَيَّبَ
السَّوَائِب
Aku melihat neraka jahannam sebagiannya saling
membakar pada sebagian yang lain (apinya berkobar-kobar), dan aku melihat 'Amr
(bin Luhay al-Khuza'i) menarik-narik isi perutnya di dalam neraka. Dan dia
adalah orang pertama yang memberikan persembahan berupa saa'ibah kepada
berhala. [HR. al-Bukhari].[4]
Dari sekelumit kisah di atas, dapat diketahui bahwa
persembahan sesajian berupa hewan-hewan tertentu kepada berhala-berhala, sudah
dikenal semanjak dahulu, zaman yang terkenal dengan sebutan zaman jahiliyah
(zaman kebodohan). Pada waktu itu, beberapa bentuk persembahan berupa hewan
hidup dikenal dengan sebutan Bahîrah, Sâ'ibah, Washîlah dan Hâm.
Tentang Bahîrah, Sâ'ibah, Washîlah dan Hâm ini,
terdapat sedikit perbedaan penafsiran di antara para Ulama, tetapi pada intinya
berujung pada titik yang hampir sama. Yaitu persembahan berupa hewan hidup
kepada berhala dan thaghut. Di antaranya adalah penafsiran Sa'id bin al-Musayyib
rahimahullah seperti yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam
tafsirnya [5] : Bahwa Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu
Syihâb, dari Sa'id bin al-Musayyib, ia mengatakan, "Bahiirah ialah hewan
(onta) yang tidak boleh diperah air susunya, sebagai persembahan kepada
thaghut-thaghut (setan/berhala yang disembah selain Allâh). Maka tidak boleh
seorangpun memerah air susunya.
Sedangkan sa'ibah ialah hewan (ada yang mengartikan
onta dan ada yang mengartikan kambing ) yang dilepaskan oleh orang-orang
jahiliyah Arab sebagai persembahan bagi berhala-berhala mereka. Maka tidak
boleh ada seorangpun yang memberi beban apapun pada hewan ini.
Kemudian Sa'id bin al-Musayyib rahimahullah
mengatakan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, "Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
رَأَيْتُ عَمْرَبْنَ عَامِرٍ الْخُزَاعِيّ
يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ، كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِب
Aku melihat 'Amr bin 'Amir al-Khuzâ'i [7]
menarik-narik isi perutnya di dalam neraka. Dia adalah orang pertama yang
mengadakan persembahan kepada berhala dengan sâ'ibah.[8]
Selanjutnya Sa'id bin al-Musayyib rahimahullah
menerangkan lagi, "Washiilah ialah anak onta berjenis kelamin betina yang
dilahirkan pertama, lalu disusul oleh anak keduanya yang juga betina tanpa
diselingi anak onta yang jantan. Onta ini dilepaskan untuk persembahan bagi
thaghut-thaghut mereka. Sedangkan hâm adalah onta jantan yang berkali-kali
membuntingi onta betina, jika sudah tuntas, maka mereka lepaskan onta jantan
ini sebagai persembahan bagi thaghut-thaghut dan tidak boleh dibebani apapun.
Mereka namakan ini sebagai hâmî.[9]
Pada keterangan lain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhu bahwa bahîrah adalah onta yang sudah melahirkan sebanyak lima kali.
Orang-orang musyrik Arab zaman dahulu akan melihat, jika anak kelima ini adalah
jantan, maka mereka menyembelihnya dan dimakan oleh kaum laki-laki saja, tidak
oleh perempuan. Jika anak kelima adalah betina, maka mereka menyobek
telinganya. Inilah yang disebut bahîrah (lalu dilepas sebagai persembahan
kepada berhala-pent).[10] Bahiirah ini haram ditunggangi menurut mereka, dan
dihormati.[11]
Sementara sâ'ibah ada yang menafsirkan dengan onta
yang sudah beranak sepuluh ekor semuanya betina, lalu induknya dilepas, tidak
boleh dijadikan tunggangan, dan tidak boleh diperah air susunya kecuali untuk
tamu.[12] Itu semua untuk maksud persembahan kepada berhala.
Begitu juga washîlah, ada penafsiran lain
tentangnya, tetapi intinya sama yaitu hewan hidup yang dihormati sebagai
persembahan bagi berhala.
Persembahan kepada berhala, jin dan makhluk yang
diyakini sebagai penguasa tempat tertentu pada zaman jahiliyyah, tidak saja
berupa hewan-hewan hidup yang kemudian dianggap suci, tetapi juga daging-daging
dari hewan sembelihan atau darahnya.
Berhala lata, 'uzza dan manat adalah di antara
berhala-berhala yang selalu menerima sesajian berupa darah, daging atau
lainnya. Karena itu ada sebagian Ulama yang mengatakan bahwa berhala manat
disebut manat disebabkan banyaknya darah hewan qurban yang dialirkan sebagai
persembahan kepadanya untuk maksud ngalap berkah.[13]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ...الحديث،
رواه مسلم
Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk
maksud selain Allâh. [HR. Muslim].[14]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
menunjukkan adanya penyembelihan hewan untuk persembahan atau atas nama selain
Allâh. Wallahu A'lam.
Demikianlah antara lain sejarah tentang sesajian
yang di persembahkan kepada berhala atau kepada sesembahan selain Allâh
Subhanahu wa Ta’ala. Itulah kebiasaan orang musyrik di zaman jahiliyah dahulu.
Dan ternyata sekarang tradisi itu banyak bermunculan kembali, setelah pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum
sempat terhenti. Bahkan kini dilakukan oleh banyak kaum Muslimin yang tidak
sedikit memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan hidup di zaman super canggih.
Dan itu tentu merupakan cermin komunitas masyarakat terbelakang, meskipun
membawa seabreg gelar pendidikan.
Bahîrah, sâ'ibah, washîlah dan hâm memang tidak ada
lagi, tetapi muncul dengan nama dan istilah baru, misalnya larung, ingkung,
penanaman kepala kerbau dan bentuk-bentuk sesajian lain yang dipersembahkan
kepada setan-setan demi keselamatan serta kesuksesan.
Jika ini tetap dipelihara, maka keterbelakangan
akan selalu melanda umat. Dan bangsa ini akan sulit menapaki kemajuan.
Karena itu Islam datang untuk membebaskan manusia
dari belenggu kebodohan ini, membebaskan manusia dari keterbelakangan dan
membangun peradaban yang maju. Maka Islam sangat menentang tradisi dan kegiatan
semacam di atas.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا
سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Allah tidak pernah mensyari'atkan adanya bahîrah,
sâ'ibah, washîlah dan hâm. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat dusta
atas nama Allâh, dan kebanyakan mereka tidak berakal. [ al-Mâ'idah/5:103]
Ayat ini merupakan celaan kepada kaum Musyrikin
karena mereka membuat syari'at sendiri dalam urusan agama, yang tidak ada
petunjuknya dari Allâh Subhanahu wa Ta’aladan mereka mengharamkan apa yang
dihalalkan oleh Allâh. Maka berdasarkan gagasan rusaknya, mereka mengharamkan
sesuatu yang halal dari hewan-hewan ternak mereka sesuai dengan istilah-istilah
yang mereka buat sendiri.[15]
Dengan demikian jelas bahwa Allâh Azza wa Jalla
tidak pernah mensyari'atkan semua perkara itu (bahîrah, sâ'ibah, washîlah dan
hâm). Allâh Subhanahu wa Ta’alajuga tidak mengakui bahwa itu semua merupakan
pendekatan diri kepada-Nya. Akan tetapi orang-orang kafirlah yang membuat-buat
dusta atas nama Allâh. Mereka membuat syari'at sendiri untuk diri mereka dan
menjadikan hal itu sebagai kegiatan pendekatan diri.
Islam juga menentang sesajian, larung dan
persembahan apa saja untuk selain Allâh Azza wa Jalla .
Dalam hadits riwayat Imam Muslim yang sudah
diketengahkan di muka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas
memberitakan bahwa Allâh mela'nat orang yang menyembelih hewan semblihan untuk
maksud selain Allâh.
Pengertian ; "Allah mela'nat" ialah,
Allâh menjauhkan rahmat serta kasih sayang-Nya dari pelaku penyembelihan hewan
yang dipersembahkan untuk selain-Nya. Maka orang yang dijauhkan dari rahmat
Allâh, pasti tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan.
Untuk itu, tidak semestinya orang yang mengaku
sebagai hamba Allâh dan pengikut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
amat dicintai, masih tetap bertahan melakukan tradisi-tradisi syirik dan
terbelakang semacam itu. Nas'alullaha at-Taufiq.
Maraji'
1. Tafsîr Ibnu Katsîr
2. Tafsir ath-Thabari
3. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fi Tafsîr Kalâmil
Mannan, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di.
4. Fathul Bâri, Syarh Shahihil Bukhâri, Imam Ibnu
Hajar al-Asqalani.
5. Shahih Muslim, Syarhun Nawawi, Tahqiq: Khalil
Ma'mun Syiha
6. Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, Syaikh Muhammab
Nashiruddin al-Albâni.
7. Al-Bidayatu wan Nihâyah, Imam Ibnu Katsir
8. Fathul Majîd, Syarh Kitâbut Tauhîd, Syaikh
Abdurrahmân bin Hasan Aalusy Syaikh
9. Taisirul Azîz al-Hamîd fi Syarhi Kitâbit Tauhîd,
Syaikh Sulaiman bin Abdillah Aalusy Syaikh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Hâfizh Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan
Nihâyah, Maktabah al-Ma'ârif, Beirut, tanpa tahun, II/187-188 dan 189, Qisshatu
Khuza'ah wa 'Amr bin Luhay wa 'Ibadatul 'Arab lil Ashnam
[2]. Lihat Tafsir ath-Thabari, karya Imam Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dhabth wa Ta'liq: Mahmud Syakir, Dar
Ihya'it Turats al-Arabi, Beirut, Libanon, cet. I, 1421 H/2001 M, 7/103 tentang
al-Mâ'idah/5:103
[3]. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah,
Maktabah al-Ma'arif lin Nasyr, 1415 H/1995 M. IV/242-244, no. 1678.
[4]. Lihat Shahih al-Bukhari/Fathul Bâri VIII/283,
no. 4624.
[5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ma'idah: 103,
Taqdim: Abdul Qadir al-Arna'uth, Dar al-Faiha', Dimasyq & Dar as-Salam
Riyadh, cet. I, 1414 H/1994 M, II/147
[6]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/148
[7]. Yang dimaksud adalah 'Amr bin Luhay
al-Khuza'i. Lihat Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma'mun Syiha,
Dar al-Ma'rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M. XVII/187, ketika Imam Nawawi
t mensyarah hadits no. 7122
[8]. Lihat pula Shahih Muslim Syarh an-Nawawi.
Ibid, no. 7122
[9]. Lihat Shahih Bukhari/Fathu al-Bari, VIII/283,
no. 4623, dengan terjemahan bebas.
[10]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, op.cit. II/148.
[11]. Lihat Taisir al-Karimir Rahman, Syaikh
Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa'di, Masyru' Maktabah Thalib al-Ilmi, Jum'iyyah
Ihya' at-Turats al-Islami, cet. I, 1418 H/1997 M, I/302, QS. al-Mâ'idah/5:103.
[12]. Tafsir Ibnu katsir, op.cit.
[13]. Lihat Fathu al-Majid Syarh Kitabi at-Tauhid,
karya Syaikh Abdur-Rahman bin Hasan Aalu asy-Syaikh, 1/256. Tahqiq : Dr.
Al-Walid bin Abdur Rahman bin Muhammad Aalu Fariyyan, Dar 'Alam al-Fawa'id,
Mekah, cet. VI, 1420 H.
[14]. Lihat Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, no.
5096, 5097 & 5098. Tahqiq: Khalil Ma'mun Syiha, op.cit. XIII/141-142,
[15]. Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, Syaikh
as-Sa'di, 1/302 op.cit.
(almanhaj.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar