Minggu, 15 Januari 2012

Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah

Bismillahirrohmanirohim

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005
Tentang
ALIRAN AHMADIYAH

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M, setelah:

Menimbang:

1. bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya;

2. bahwa upaya pengembangan faham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat;

3. bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat;

4. bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang Aliran Ahmadiyah.

Mengingat:

1. Firman Allah SWT., :

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. al-Ahzab [33]: 40).

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (QS. al-An’am [6]: 153).

“Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…” (QS. al-Ma’idah [5]: 105).

2. Hadis Nabi SAW antara lain:

“Rasulullah bersabda: Tidak ada nabi sesudahku” (HR. al-Bukhari).

“Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah teputus; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku” (HR.Tirmizi).

Memperhatikan:

1. Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW.”

2. Fatwa MUNAS II MUI pada tahun 1980 tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah.

3. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH

1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.

3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

Ditetapkan: Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Ketua:
K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris:
Drs. Hasanuddin, M.Ag

(MUI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar