Selasa, 03 April 2007

Jangan Sekadar Turis di Tanah Suci

IBADAH haji merupakan rukun Islam yang paling berat. Tidak seluruh kaum Muslim sanggup melakoninya. Karena, perjalanan ritual (rites de passage) tersebut selalu terkait dengan kemampuan materi dan kekuatan fisik.

Menunaikan rukun Islam seperti salat bisa dilakukan tiap manusia serta di mana saja. Selama hati rindu sujud, maka, di kala itu sembahyang bisa ditegakkan. Sedekah pun mudah dilakukan semua orang. Bukan cuma konglomerat yang enteng mengeluarkan sumbangan. Sebab, insan melarat mampu pula berderma di jalan Allah.

Memberi nasehat, mencari sesuap nasi atau melindungi keluarga, sama derajatnya dengan sedekah. Seorang ayah yang memberi makan kepada anaknya, juga tergolong sedekah. Bahkan, suami yang membuahi rahim istrinya pun dinilai sedekah.

Kaum Muslim diperintahkan naik haji sebagai penyempurna anatomi ibadah Islam. Dengan gelar haji, maka, posisi di mata masyarakat menjadi terangkat dengan gaya berkharisma. Hatta, bergemuruh mekanisme kontrol internal dalam kehidupan konkret sebagai manusia.

Kyai-kyai yang sering naik haji, malahan dianggap punya kesaktian. Karena, bisa salat Jumat di Masjidil Haram bersamaan dengan sembahyang Jumat yang dilakukan orang-orang di Nusantara.

Cerita makin riuh lantaran ada segelintir insan yang sanggup ke Tanah Suci tanpa menggunakan pesawat atau kapal. Beberapa di antaranya dikisahkan bisa menunggang buih lautan. Bahkan, di Jawa ada sumur yang tembus ke muara zam-zam di Mekah.

Segenap kehebatan itu, jelas hanya isapan jempol dari orang usil yang senang sensasi. Tak ada orang Indonesia dapat salat Jumat di Masjidil Haram kecuali memang berada di sana. Sebab, ada selisih waktu selama lima jam.

Hikayat dusta demikian setali tiga uang dengan manusia yang naik busa laut ke Mekah. Apalagi, tubuh musykil beradaptasi dengan buih yang lembut. Kalau ada yang tetap bisa naik busa laut, berarti orang tersebut mesti tahu astronomi dan geografi. Karena, kompas yang dipakai sebagai penunjuk jalan yakni bintang di malam hari.

Sesampai di Arab Saudi, ia harus tahu pula lokasi pelabuhan. Tanpa mengerti posisi koordinat Arab Saudi, niscaya ia akan tersesat di pasir-pasir Sahara nan terik yang menguras bergalon keringat.

Di dunia, cuma ada satu sumur zam-zam. Di Madinah saja tak ada sumur yang tembus sampai ke Mekah. Hingga, mustahil di Jawa ada sumur yang berhubungan langsung dengan telaga zam-zam.

Manusia Angkuh

Di Tanah Suci, segala atribut duniawi mesti ditanggalkan. Visi harus fokus pada ibadah guna memetik wibawa spiritual. Nafsu sebagai muara konflik mesti diredam agar tak ada aral-melintang. Sebuah cerita menukilkan mengenai seorang yang membandingkan Mekah dengan satu kota di Indonesia.

Mekah dipandang ketinggalan zaman akibat tidak ramai dengan plaza yang menjulang tinggi. Tiba-tiba orang itu diguncang demam. Ia pun segera dianjurkan istigfar seraya memohon ampun kepada Allah. Alhamdulillah, ia segera sembuh.

Perkara berubah pelik lantaran ia mengulangi lagi kebandelannya dengan membandingkan Mekah dengan kota lain. Alhasil, sekali lagi ia sakit. Penyakitnya malahan bertambah parah. Ia diramal sudah tak bernyawa bila tiba di Indonesia. Hingga, panitia haji secepatnya memulangkan.

Di luar dugaan, saat berada dalam perut pesawat, ia ternyata sehat walafiat. Tak ada tanda-tanda ia pernah sakit. Mekah memang tak butuh manusia angkuh!

Sebuah kisah juga meriwayatkan perihal suami-istri yang naik haji. Keduanya masih dalam tahap bulan madu. Ketika tawaf, si istri berjalan di depan. Sementara sang suami tepat di belakang. Jika ada jemaah yang menyentuh istrinya, kontan ia menyikutnya.
Setiba di hotel, si suami langsung demam. Beruntunglah, sebab, penyakit itu hanya menimpanya beberapa jam. Problem meruyak gara-gara tiap usai tawaf, ia selalu meringis diiris oleh demam.

Sebuah ironi di tengah hamparan nikmat Ilahi.

Seorang bijak-bestari langsung bertanya perihal penyakitnya. Berceritalah mulutnya kalau ia tak rela istrinya disentuh jemaah lain. Nasehat pun diberikan kepadanya bahwa kala tawaf, saling bersenggolan adalah hal lumrah. Ribuan jemaah yang tawaf pasti saling bersinggungan badan. Bahkan, ada yang saling dorong sampai emosi meluap sampai ke ubun-ubun. Karena, wadah tawaf tidak seluas lingkaran stadion sepak bola.

Sekali peristiwa, seorang haji yang berprofesi penjual sate ayam membuat bingung jemaah lain. Di suatu hari, ia membawa dua karung berisi penuh sandal bekas. Jemaah sontak menuduhnya bila sandal tersebut diambil tanpa izin di Masjidil Haram.

Ia mengelak dengan jurus silat lidah yang lihai. Saat didesak, ia sekonyong-konyong memekik. "Ini bukan sandal, tetapi, ayam!"

Seorang yang berilmu langsung berspekulasi. Jika sandal itu disebut ayam, berarti, sate yang dijajakan di Tanah Air pasti berbahan ayam mati, bukan disembelih atas nama Allah. Ia tanpa sadar memperlihatkan belangnya kalau doyan membeli ayam mati dalam karung untuk dijual sebagai sate.

Made in Saudi

Naik haji menyimpan begitu banyak rahasia. Dengan berhaji, berarti seseorang mampu berhubungan dengan rumpun serta budaya suatu kawasan. Dari pola hubungan tersebut, bakal terjalin ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar-sesama Muslim).

Bila terjadi komunikasi antar suku-bangsa, niscaya persoalan suatu negeri mengemuka untuk diberi solusi. Minimal memanjatkan doa bagi keselamatan saudara-saudara seiman di Palestina, Bosnia, Irak, Afganistan, dan Lebanon yang dibombardir secara gencar dengan teror, tragedi, serta intrik berdarah.

Persinggungan komuniksi antar suku-bangsa, jelas melahirkan untaian energi. Alhasil, dunia Islam bisa membangun setapak demi setapak kekuatan. Bukan cuma kerupuk yang bisa dibuat, namun microchips. Bukan beling yang diasah, tetapi, berlian. Apalagi, Islam bukan empedu (teroris), melainkan emas (rahmatan lil alamin).

Kalangan Muslim yang memiliki daya ekonomi, politik, sosial, budaya, informasi dan militer, merupakan wujud Islam sejati. Fase itu tercermin ketika menunaikan ibadah haji. Di Tanah Suci, Allah membutuhkan orang-orang yang kuat secara fisik. Sebab, Mekah serta Madinah dijejali seluruh ras keturunan Nabi Adam.

Mereka tawaf dan sai di tempat yang teramat terbatas luasnya. Apalagi, terik matahari terasa membakar di kulit. Di malam hari, cuaca dingin mencucuk tulang. Bayu yang bertiup sangat kencang, membuat hidung sesak.

Terpaan suhu udara terasa berlipat jika cobaan datang. Bingung di tengah keramaian. Sebagai contoh, seorang tua dari Malaysia tersesat di pinggir pekuburan Baqi, Madinah. Ia memelas tanpa daya dengan pandangan sendu di malam yang bertabur bintang. "Sudah capek ini kawan", ucapnya pedih sembari duduk akibat kakinya bergetar lelah.

Tersesat adalah perkara biasa di Tanah Suci. Di Mekah, nyawa malahan enteng tercabut. Apalagi, di sekitar Hajar Aswad yang dijaga 70 ribu malaikat. Di tempat yang dijejali massa tersebut, jiwa jemaah gampang copot.

Tiga meter dari Hajar Aswad termasuk area yang padat sekali. Tidak sedikit yang pingsan serta mati di kawasan itu karena semua berebut mencium Hajar Aswad, batu dari surga berwarna coklat dengan bintik-bintik cahaya di siang hari. Di Masjidil Haram, terkadang lima jenazah disalatkan tiap usai sembahyang fardu.

Naik haji selalu memerlukan kekuatan mental dan raga yang prima. Energi itu akan menjadi minyak mesin guna menggapai haji mabrur (diterima Allah). Arkian, hari-hari bergelora bak air bah dalam mengejar muraqabah (konsentrasi rohani demi mendekati zat Ilahi).

Tanpa kekuatan serta ketabahan, maka, yang diperoleh hanya haji mardud alias ditolak. Akibatnya, setiba di Tanah Air, tangan mereka tetap lincah mencuri. Ia tetap lihai membohongi lingkungan sekitar dengan jargon-jargon dusta lewat siasat jahil.

Tak ada seberkas cahaya iman yang berbinar dalam kalbunya. Dimensi akidahnya gagal total naik kelas. Ia telah bersusah-payah memulai dari angka 00.00, namun, akhirnya balik lagi ke titik semula. Intensitas dan frekuensi ibadahnya di Tanah Haram, ibarat peristiwa biasa yang gampang dilupakan.

Rukuk serta sujud yang dikerjakan di Mekah tak berbekas. Sebab, ia sekadar turis di Tanah Suci. Ia cuma memperoleh gelar haji made in Saudi Arabia. Bukan al-hajj al-mabrur dari sisi Allah!

Sumber :
• Portal Tribun Timur Makasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar