Rabu, 25 April 2007

Penerima Bea Siswa Arab Saudi Mengadu Pengelola Potong Rp 1,4 Juta

ACEH BESAR - Pemotongan bea siswa ala penyunatan Dana Bandes atau bantuan operasional sekolah pada era Orde Baru, diduga melanda penerima bea siswa dari negara Arab Saudi yang uangnya cair pada 3 Maret 2007, pekan lalu. Lebih dari itu tercium indikasi, pengusulan bea siswa itu cenderung ’menjual‘ isu tsunami.

Adalah bantuan beasiswa pendidikan untuk 300 anak yatim korban tsunami di Kabupaten Aceh Besar, yang disumbangkan oleh kerajaan Arab Saudi melalui International Islamic Relief Organization (IISO), yang belakangan ’disunat‘ pengelolanya hingga Rp 1,4 juta per orang. Sedangkan jumlah penuh yang diterima mencapai Rp 2,4 juta.

Pengelola berdalih dana itu biaya administrasi (adm), termasuk biaya tiket pesawat pengelola, dengan jumlah item 14 buah yang sebagian besar bertajuk ’biaya adm‘.

Pihak IISO memang menyalurkan langsung uang bantuan itu kepada para penerima, dengan kemungkinan sebagai upaya meminimalisir pemotongan. Toh, pihak yayasan pengelola sepertinya lebih cerdik. Mereka mendatangi penerima dan meminta sebagian uang beasiswa itu, dengan dalih biaya adm.

Indikasi adanya permainan dalam mengupayakan bantuan itu, juga terungkap dengan hanya sebagian kecil anak penerima bea siswa itu berstatus yatim atau piatu. Selain itu mereka sebagian besar juga bukan korban tsunami. Padahal ’tajuk‘ proposal bantuan itu adalah bantuan bea siswa untuk yatim atau piatu korban tsunami.

Penyaluran bantuan itu sendiri difasilitasi Yayasan Putri Gani yang berkantor di Desa Meunasah Intan, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

300 anak yang direkrut sebagai penerima itu berasal dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Baitussalam, Darussalam, Krueng Barona Jaya, Darul Imarah, Darul Kamal, dan Kutabaro.

Dugaan adanya “permainan” dalam mengelola beasiswa kepada anak yatim oleh yayasan tersebut, terungkap dari sejumlah orang tua anak yatim yang menerima bantuan dana pendidikan itu.

Salah seorang ibu yang mendapatkan bantuan beasiswa untuk tiga orang anaknya menyebutkan, saat penyerahan bantuan oleh pemerintah Arab Saudi di Gedung Sosial Provinsi NAD, masing-masing anak diharuskan didampingi oleh orang tua. Usai menyerahkan bantuan itu, pemerintah Arab Saudi langsung kembali ke Jakarta. “Waktu kami mau pulang, di sinilah kami dihadang oleh orang yayasan dan meminta agar uang itu dikembalikan lagi. Tapi, ada sebagian warga yang sembunyi-sembunyi agar tidak diminta lagi dan langsung pulang,” ucap Nurani (40), warga Desa Gla Meunasah Manyang, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar kepada sejumlah wartawan, kemarin.

“Kami menduga ada sesuatu yang aneh, karena dana itu sudah langsung kami terima tapi kenapa diminta lagi. Berarti kan ada yang tidak beres,” katanya lagi.

Namun, Nuraini mengaku tetap mengembalikan uang itu sebab ia tidak bisa mengelak lagi karena sudah dihadang di depan pintu. Begitu kagetnya Nurani ketika dana yang ia terima dikembalikan lagi oleh pihak yayasan, karena uang tersebut tidak lagi sejumlah yang ia terima dari pemerintah Arab Saudi. “Saya kaget sekali kenapa uangnya jadi kurang. Waktu saya terima dari pemerintah Arab Saudi jumlahnya Rp 7.200.000 untuk tiga orang anak saya, setelah diambil oleh yayasan yang dikembalikan cuma Rp 3 juta. Kenapa jadi seperti ini,” ujarnya geram.

Hal serupa juga dialami keluarga Nurhabibah (30) dan Husna (45). Keduanya mengaku hanya menerima Rp 1 juta untuk anaknya yang masih sekolah di tingkat SD dan MIN. “Kami tidak tahu bagaimana prosesnya, yang jelas ada akhir tahun 2005 datang koordinator lapangan dari yayasan itu dan mendata setiap keluarga yang anaknya masih sekolah, untuk diberikan bantuan,” cerita seorang warga lainnya Nurhalisah.

Sementara itu, Ketua Yayasan Putri Gina, Khairani yang dimintai keterangannya mengakui adanya pemotongan dana bantuan senilai Rp 1.400.000 per-anak. Menurutnya, pemotongan uang tersebut merupakan ketetapan antara yayasan Putri Gani dengan Pesantren Darun Najah yang bertindak sebagai koordinator yang mengajukan permohonan beasiswa itu kepada Pemerintah Arab Saudi.

“Pemotongan Rp 1.400.000 itu bukan untuk yayasan, tapi ini sudah kesepakatan dengan Pesantren Darun Najah Jakarta karena mereka sebagai koordinator pengurusan beasiswa ini ke pemerintah Arab Saudi,” katanya.

Dia menyebutkan, ada 14 poin penggunaan dana yang dipotong itu yang sebagian besarnya untuk biaya administrasi seperti ADM kepengurusan pesantren Darun Najah, ADM untuk penulisan terjemahan bahasan Arab data setiap anak, ADM yayasan, ADM koordinator setiap desa, ADM surat keterangan kepala desa, kepala sekolah, dan camat, membeli nasi, biaya transpor Banda Aceh-Jakarta, dan dokumentasi.

Ditanya tentang kesepakatan pemotongan itu, Khairani mengatakan bahwa itu disepakati secara tertulis sejak tanggal 28 Januari 2005 lalu. Namun, ia tidak memiliki lagi surat tersebut karena sudah dibakar oleh beberapa koordinator yang marah karena dananya terlambat turun.

Disinggung tentang banyaknya jumlah penerima bantuan yang bukan anak yatim piatu, Khairani menjelaskan, hal itu sesuai dengan data yang diberikan oleh koordinatornya di lapangan. “Saya tidak tahu karena waktu itu saya di Jakarta, mereka yang mendata setiap anak-anak itu,” cetusnya.

Diceritakan, bantuan itu berawal saat ia berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan pimpinan pesantren Darun Najah, Ma‘rus Amin yang punya hubungan baik dengan Pemerintah Arab Saudi. Berkat pengurusannya, Arab Saudi akhirnya berkeinginan membantu anak-anak yatim korban tsunami, dan meminta data nama-nama anak yatim tersebut.

Karena masih di Jakarta, Khairani meminta koordinator lapangan yang ada di yayasannya untuk mendata jumlah anak yatim di enam kecamatan dalam wilayah Aceh Besar. Setelah proposal siap, lalu dikirimkan ke Jakarta untuk diserahkan kepada Kedutaan Arab Saudi.

Satu tahun kemudian, Pemerintah Arab Saudi melalui kedutaannya di Jakarta mengabarkan bahwa bantuan itu akan segera cair tapi tidak semuanya. Untuk tahap pertama akan disalurkan sebanyak 300 anak yatim. “Saya tidak tahu di mana kesalahannya, yang jelas saya hanya ingin berbuat untuk anak-anak yatim korban tsunami. Tidak ada maksud untuk mengambil uang dari anak-anak yatim itu,” demikian tutur Khairani yang ditemui di kantornya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar